Selasa, 24 Januari 2017

Review Buku dan Filim - Istirahatlah Kata-Kata

Istirahtlah Kata-Kata
oleh Wiji Thukul

istirahatlah kata-kata
jangan menymbur-nyembur
orang-orang bisu

kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang meringis
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri

tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan
(Solo Sorogenen, 12 Agustus 88)


Terkecuali isi kumpulan puisi WJ hanya sedikit prihal yang kutahu tentang sosok Wiji Thukul, meskipun sejak agak lama sudah diperkenalkan oleh seseorang (Dosen-Telaah-Sastraku) yang sangat respect dengan tokoh aktifis sekaligus penyair ini. Beberapa penggal-penggal puisi WJ pernah menjadi tugas renung-renunganku semasa masih menjadi mahasiswa, semasa masih menggali naluri kepedulian sosial dalam gerakan gerakan aksi.

Nukilan puisi (di atas) ada dalam kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul bertajuk "Nyanyian Akar Rumput'. Dalam buku tersebut ada tujuh bab yang bertasbih puisi pemikiran WJ. Beberapa bab awal dalam puisinya mencantumkan kota Solo berlatar tahun 86 yang di suarakan WJ dalam puisinya. Namun, pada bab tiga hingga akhir, beberapa keterangan waktu dan tempat menjadi luput dari penyajiannya. Entah karena kondisi WJ yang sudah terdesak status buronan atau memang tidak tercantum jelas dalam carik pusinya. Yang pasti deret penyajian puisi dalam buku itu disesuaikan dengan sajian tema tema rangkap per bab-nya

Sejak awal Januari, tersiarkan kabar yang sampai di timeline intagramku tentang filim yang menganggat sisi kehidupan Wiji Thukul akan memasuki beberapa layar (khusus) bioskop Indonesia. Pemberitaan awal bahkan hanya akan ditayangkan di 8 kota. Medan belum masuk nominasi. 

Serupa ramai-ramai apresiasi yang ditunggu-tunggu para antusias yang kupikir mengingatkan rapalan kalimat khas tentang sosok WJ yang bunyinya, 'boleh jadi ada yang sudah memaafkan/dimaafkan, tetapi tidak samasekali untuk melupakan/dilupakan'.

Misteri hilangnya Wiji Thukul yang masih fenomenal, sesungguhnya (bagiku) menjadi daya tarik yang memanggil-manggil nurani untuk menonton filimnya.
Tidak hanya itu, berkah kabar berharga bahwa filim Istirahatlah Kata-kata akan kebagian tayang di CGV-Focal Point Medan juga daya tarik paling gembira. Dengan jam tayang dua keloter waktu, yaitu pukul 14.45 dan 18.50 wib.

Sedari pagi personal chat bbm-ku mulai ribut ribut mengabarkan info dan jam tayang yang pasti. Bahkan, beberapa teman yang ketertarikannya pada buku-buku dan filim sering menyambungkan tiap tiap pembicaraan seru berkata "terpujilah usaha kita untuk nonton di hari H!" 

Singkat dari proses bincang dan bertukar info, serta jam tanyang pemutaran filim ini sebenarnya semakin memaksa antusiaku untuk menonton filim yang sudah sudah direkomendasikan tokoh 'terkait' yang sungguh keren total karyanya kukagumi. Sekelas Joko Pinurbo dan Aan Mansyur.
Promosi filim ini memang hanya ramai di media masa, itupun dari kalangan antusias saja. Yang memang sudah bersinggungan terlebih dahulu dengan akar nyanyian nyanyian WJ. Yang memang sudah menuju mengerti tentang alur nanyian akar rumput WJ. 
Istirahatlah Kata-Kata disutradarai Yosep Anggi Noen ini sebelumnya sudah melanglang-buana di beberapa festival filim Internasional dan mengantongi prestasi kemilau yang pantas diperhitungkan. 

Adalah Gunawan Maryanto yang berperan sebagai Wiji Thukul dan Marisa Anita sebagai Sipon, istrinya. Ada juga pemeran pendukung, sebagai teman WJ dimasa pelarianya di Pontianak, yaitu Eduwart Boang Manulu sebagai Martin dan Melanie Subodo sebagai Ida (istrinya Martin).

Sedikit review yang ingin kutuliskan karena girang dan antusiasku setelah menonton filim ini. Berhubungan juga sebab euforia partisipasi sekawananku dengan kesempatan waktu yang tepat, walaupun sudah jelas jelas dugaan penonton pasti membludak. 

Dalam pandangan dan pendapatku yang tercetus dari filim ini bahwa adanya indikasi 'aroma' semacam upaya untuk membumikan isu berharga sejarah anak bangsa yang pernah memperjuangkan kebebasan pendapat melalui penyampaian gelisah sosialnya melalui puisi puisi. Sekiranya pernah ada yang berjuang dan harus ada yang diingatkan.

Alur yang disajikan Istirahtlah Kata-Kata merupakan nukilan kisah hidup Wiji Thukul saat mengasingkan diri di Pontianak.
Layar diawali dengan rangkai pertanyaan (sepenampilan) seorang intel kepada anak kecil yang -agak kutebak sebagai anaknya WJ. Disusul dengan penjelasan runtext sebagai pembuka kondisi yang menjadi titik fokus cerita.

Selanjutnya suara lirih yang terdengar cadel menyiarkan lirik puisi Istirahatlah kata-kata dengan suasana efek ekspresi binggung dari tokoh Wiji Thukul.

Sorotan kamera dekat dekat terasa menyajikan beberapa ekspresi serta nukilan puisi puisi WJ yang dijadikan backsound yang menarik. Aku sendiri serasa sedang menonton deklamasi puisi yang dikemas dalam sinematografi yang manis manis.

Sungguh menyenangkan. 

Filim yang berdurasi 90 menit ini tetap dinamis dalam tuturan yang banyak menampilkan detail ekpresi pada gerak gerak renungan para tokohnya.

Sampai dipenghujung cerita, WJ memutuskan kembali ke Solo menemui istri dan keluarganya. kondisi yang sudah semakin kompleks karena hujat dan pengabaian dari tetangganya semakin memperdalam emosiku menuju klimaks.

Teringatkan tentang moment paling mengharukan menurutku yaitu pada saat istri WJ, Sipon -yang diperankan Marisa Anita menuturkan tangis dan dialognya yang kurang lebih berbunyi, "ini pertama kalinya aku nangis, selama Kamu pergi aku gak pernah nangis. Aku gak mau kamu pergi, aku juga gak mau kamu hilang. Aku cuma mau kamu ada".

Serasa dihipnotis. Duhhh... kira kira sepuluh menit ih.. lihat Marisa Anita nangis sampai tenang itu paling nguras emosi. Akunya sampai pingin nangis juga, tapi berusaha tetap tegar, setegar Sipon yang tenang dan disambut suara irama lagu yang menandakan bahwa filim sudah berakhir. Berakhir dengan tanda tanda tanya di kepala. 

Sungguh menyentuh.

Dan buat mikir!

Sutradara juga terasa bertindak bijaksana. Memilih jalur aman karena tidak memberi vonis terhadap fakta fakta yang sekiranya akan sulit diterima 'pihak-pihak terkait'. Seperti kata sutradara dalam satu artikel yang menjelaskan bahwa filim ini bertujuan sebagai pengingat saja. Pengingat untuk generasi-generasi. Bukan filim sebagai hakim yang harus mengetok palu agar kasus misteri WJ segera terbongkar.

Jelas bukan seperti ini yang ditampilkan, menurutku.

Seingat tentang pesanan WJ dalam bukunya. Dalam lembar awal kumpulan puisi Nanyian Akar Sunyi, terdapat pesan magis menyentuh yang juga sering kurapal rapal menjadi ingatan berharga. 

Isinya pesan dari WJ berupa;

"Penyair; haruslah berjiwa 'bebas dan aktif', bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Maka belajar terus menerus adalah mutlak, memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya. Dan fanatik gaya atau tema bisa dihindarkan sehingga proses kreatif tak terganggu. Belajar tidak harus di kampus atau sekolah tetapi bisa di mana-mana dan kapan saja; di perpustakaan atau membaca gelagat lingkungan atau apa sajalah pokoknya yang bisa memepertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di luar dirinya juga".

Dari pesan padat tersebut jelas pendapat WJ sangat vokal tentang kebebasan berpikir dan serta berpendapat. 

Dengan bentukan rasio pendukung dan rangsang pemikiran dari lingkungan sekitar, agaknya memang perlu kita sebagai manusia memperjuangkan suara asli dari dalam nurani untuk ditunjukkannya kepada dunia. Agar memang dunia tahu!

2 komentar:

  1. Ada wajah awak di sini :D. Iya, walaupun promosi tetbatas tapi antusiasnya orang utk nonton terasa di tiap jengkal ruangan

    BalasHapus